BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
HAM adalah hak asasi manusia yang memiliki landasan
tertentu. Segala sesuatu yang menyangkut keseluruhan hidup manusia didasari
oleh system nilai yang dianut. Di dalam HAM terdapat sistem nilai yang dianut
oleh suatu bangsa dan masayarakat. Nilai yang dimaksud bersifat fundamental dan
dijunjung tinggi serta dijadikan pedoman oleh masyarakat dalam mengatur
hak-haknya sebagai manusia. Dari sistem nilai itu kemudian melahirkan pemikiran
yang dijadikan landasan filosofis, ideologis, yuridis konstitusional,
moral, sosio-kultural dan religius. Pada akhirnya, orang sering mengaitkan HAM
dengan kebebasan dan demokrasi. Namun demikian, kaitannya tidak dapat
dilepaskan dari landasan-landasan tersebut secara komperhensif.
B. Tujuan
Selain memenuhi tugas mata kuliah, penulisan makalah
ini bertujuan agar :
- Kita
dapat menjelaskan sistem nilai di dalam HAM
- Kita
dapat memahami landasan-landasan filosofis-ideologis, yuridis, moral,
sosio-kultural serta landasan religious HAM.
BAB II
PEMBAHASAN
Hak asasi manusia merupakan hak fundamental yang
dimiliki setiap manusia sebagai anugerah Tuhan oleh sebab itu bersifat
universal. Sekalipun HAM itu bersifat universal, tetapi pemahaman setiap orang
tentang HAM tersebut berbeda-beda. Cara pandang tersebut dipengaruhi oleh
sistem filsafat, ideologi, dan yuridis konstitusional.
A. Sistem
Nilai yang Melandasi HAM
Sistem adalah keseluruhan dari unsur atau bagian yang berhubungan secara
fungsional dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Sistem nilai yang melandasi
HAM ditentukan oleh pandangan hidup bangsa. Bagi bangsa Indonesia, panduan atau
filsafat hidup bangsa yang telah disepakati adalah pancasila. Sistem nilai yang
melandasi HAM berdasarkan pandangan hidup bangsa adalah sistem nilai universal
dan lokal.
Sistem nilai universal yang melandasi HAM adalah sebagai berikut :
a) Nilai religius dan kebutuhan
b) Nilai kemanusiaan
c) Nilai persatuan
d) Nilai kerakyatan, dan
e) Nilai keadilan.
Setiap bangsa di dunia memiliki kepercayaan terhadap adanya Tuhan.
Bukti-bukti adanya Tuhan yang dikumpulkan rasi o manusia
sebagai berikut :
- Bukti
teologis yaitu sebagian besar manusia di muka bumi ini percaya adanya
suatu kekuatan adikodrati yang menguasai kehidupan manusia.
- Bukti
teleologis, yaitu bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta itu ada
arah dan tujuan.
- Bukti
ontologis, yaitu bukti tentang segala sesuatu yang ada di alam semesta itu
pasti ada yang mengadakan.
- Bukti
kosmologis yaitu bukti tentang keteraturan alam semesta.
- Bukti
kausalitas yaitu bukti adanya hukum sebab akibat di alam semesta akan
mengantarkan rasio pada penyebab pertama yang tidak disebabkan.
- Bukti
psikologis yaitu sebagian besar manusia memiliki ketakutan untuk mati.
- Bukti
moral yaitu manusia merasa diperlakukan secara tidak adil.
Semua anggota masyarakat harus diperlakukan secara adil. Keadilan menjadi
sendi di dalam kehidupan masyarakat. Menurut Aristoteles, keadilan itu
dibedakan menjadi keadilan komutatif (antar individu), distributif (negara
kepada individu), dan legal (keadilan yang diberikan oleh hukum yang berlaku).
Disamping nilai universal, ada sistem nilai lokal yang melandasi HAM.
Sistem nilai lokal tersebut adalah sebagai berikut :
- Ketuhanan
Yang Maha Esa.
- Kemanusiaan
yang adil dan beradab.
- Persatuan
Indonesia.
- Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan
perwakilan.
- Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
B.
Landasan Filosofis
Setiap orang atau masyarakat tentu memiliki masalah. Ada masalah yang
bersifat sederhana dan praktis sehari-hari, ada pula masalah yang bersifat
fundamental filsafati. Seiring dengan perkembangan zaman, penyelesaian masalah
secara mitologis itu dipandang tidak memuaskan manusia. Kemudian, manusia
mencari penyelesaian dengan kemampuan sendiri yaitu berpikir. Kemampuan
berpikir menjadi ciri khas manusia. Tidak semua kemampuan berpikir bersifat
kefilsafatan.
Suatu pemikiran dikatakan bersifat kefilsafatan manakala memiliki ciri-ciri
tertentu. Pertama, berpikir kefilsafatan bersifat objektif, artinya memiliki
objek tertentu, baik objek materi maupun objek formal. Kedua, berpikir
kefilsafatan bersifat radikal. Radix artinya akar. Berpikir radikal berarti
berpikir sampai ke akar-akarnya sampai ditemukan hakikatnya. Ketiga, berpikir
kefilsafatan mempunyai ciri berpikir bebas. Artinya, berpikir kefilsafatan itu
bebas dari prasangka. Keempat, berpikir kefilsafatan bersifat komprehensif.
Dalam memikirkan objeknya, filsafat selalu melihat dari semua segi, dan tidak
bersifat parsial.
Secara etimologis, filsafat berasal dari kata Yunani, philo artinya
cinta, to love sahabat, dan sophia artinya kebijaksanaan, wisdom
(pengetahuan dan kebenaran). Filsafat adalah usaha manusia secara
sungguh-sungguh untuk mencintai kebijaksanaan yang diperoleh melalui
pengetahuan dan kebenaran.
Bagi bangsa Indonesia, pilihan terbaik pada sistem filsafat hidup
sebagaimana terdapat di dalam pembukaan UUD 1945 itu merupakan pokok kaidah
Negara yang fundamental, yang memberikan asas moral dan budaya politik, sebagai
asas normatif pengembangan dan pengamalan IPTEK (Noorsyam, 1999) termasuk HAM.
Asas normatif filosofis ini menjiwai dan melandasi UUD negara, sekaligus
sebagai norma dasar dan tertinggi di dalam Negara. Pancasila sebagai norma
dasar Negara atau pokok kaidah negara yang fundamental oleh MPR tidak
diamandemen (diubah). HAM dikembangkan berdasarkan sistem filsafat hidup dan
norma dasar Pancasila. Pemahaman atas HAM harus sesuai atau tidak boleh
bertentangan dengan norma dasar tersebut.
C.
Landasan Ideologis
Istilah ideologi diunakan pertama kali oleh Destutt de Tracy di
dalam buku Elements d’ideologie. Ia menjelaskan ideologi sebagai ilmu
tentang ide. Ideologi sebagai sistem ide menunjuk pada paham konservatisme,
environmentalisme, sosialisme, dan kadang-kadang digunakan untuk menyebut
kepentingan kelas-kelas dalam masyarakat, sebagaimana digunakan Karl Marx untuk
menyebut kesadaran untuk memperjuangkan kepentingan (Thomas Mautner, 1997).
Ideologi adalah ajaran tentang cita-cita berdasarkan sistem nilai yang
diyakini kebenarannya. Sistem nilai tersebut dikembangkan oleh filsafat.
Melalui pemikiran filsafat, sistem nilai tersebut merupakan hasil perenungan
secara mendalam tentang hakikat terdasar dari segala sesuatu. Untuk
melaksanakan hasil pemikiran filsafat tersebut dibutuhkan ideologi. Ideologi
merupakan petunjuk untuk melaksanakan filsafat. Secara harfiah, ideologi
berarti system of ideas yang mensistematiskan seluruh pemikiran tentang
kehidupan dan melengkapinya dengan sarana serta strategi dan kebijakan untuk
menyesuaikan realitas kehidupan dengan nilai-nilai filsafat (Oetojo Usman dan
Alfian, 1992).
Ideologi dikembangkan dari sistem filsafat. Ideologi kapitalisme
dikembangkan dari sistem filsafat liberalisme-individualisme. Ideologi
komunisme dikembangkan dari sistem filsafat materialisme. Menurut ideologi
liberalisme-individualisme, manusia itu bagaikan atom yang berdiri lepas dan bebas
dari pengaruh ataom lainnya. Individu tersebut berinteraksi dan membuat
perjanjian (contract social) untuk membentuk masyarakat.
Berbeda halnya dengan liberalisme-individualisme, ideologi komunisme
didasarkan pada filsafat materialisme. Pada hakikatnya segala sesuatu yang ada
itu dapat dikembalikan pada prinsip materialistik. Manusia semata-mata sebagai
makhluk materi tidak memiliki kebebasan. Ideologi komunisme ini banyak dianut
oleh Rusia, Eropa Timur, dan Negara di bawah penharuh Tiongkok (RRC).
Bangsa Indonesia tidak memihak pada salah satu atau kedua ideologi
kapitalisme dan komunisme. Bangsa Indonesia memiliki ideologi yang disepakati
bersama. Ideologi tersebut dapat dilihat pada pembukaan UUD 1945. Terbentuknya
ideologi tersebut dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor
internal perkembangan bangsa Indonesia berupa alam lingkungan hidup yang
menjadi wahana kehidupan bangsa Indonesia. Facktor eksternal berupa pergaulan
antar bangsa yang membawa pengaruh perubahan pemikiran, sikap dan perilaku.
D. Landasan Yuridis Konstitusional
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) didirikan oleh para pendiri
negara, the faonding fathers sudah dilengkapi dengan hukum dasar. Hukum
dasar yang dimaksud adalah norma dasar yang dijadikan landasan untuk mengatur
kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum dasar itu ada yang tertulis dan ada
pula yang tidak tertulis.
Norma dasar yang dijadikan hukum dasar penyelenggaraan kehidupan berbangsa
dan bernegara oleh pendiri negara secara eksplisit dijelaskan di dalam
Pembukaan UUD 1945. Begitu fundamental norma dasar tersebut sehingga UUD 1945
mempunyai kedudukan yang sangat tinggi sebagai sumber hukum. Ketentuan HAM
sudah diletakkan secara normatif di dalam Pembukaan UUD 1945, dan secara rinci
dijabarkan di dalam pasal 28 A sampai dengan J.
Pembukaan UUD 1945 terdiri atas empat alinea. Alinea pertama, memuat
pernyataan bangsa Indonesia tentang kemerdekaan sebagai hak asasi bangsa-bangsa
di dunia. Alinea kedua, memuat perjuangan pergerakkan kemerdekaan bangsa
Indonesia dalam memperoleh kemerdekaan (hak asasi setiap bangsa). Alinea
ketiga, memuat pernyataan bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia itu diperoleh
melalui :
a) Usaha perjuangan kemerdekaan bangsa
Indonesia
b) Perjuangan tersebut diridloi Tuhan Yang
Maha Esa
c) Kemerdekaan yang di capai dengan keinginan
luhur sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan maju.
Alinea keempat, memuat pernyatan bahwa negara Indonesia merdeka yang
didirikan mempunyai tujuan :
a) Melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah bangsai ndonesia
b) Memajukan kesejahteraan umum
c) Mencerdaskan kehidupan bangsa
d) Ikut serta dalam menjaga perdamaian dunia yang
abadi berdasarkan keadilan.
sebagaimana terdapat di dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan ajaran cita-cita
tentang kehidupan bangsa di masa depan. HAM dikembangkan sebagai salah
satu bagian dari cita-cita dan tujuan nasional tersebut. Secara yuridis
konstitusional HAM memiliki landasan yang kuat karena secara eksplisit
dicantumkan di dalam pasal-pasal UUD 1945, terutama pasal 27, 28, 28A-J, 29,
30, 31, 32, 33, dan 34. Untuk melaksanakan berbagai ketentuan pasal-pasal
tersebut dibuat berbagai undang-undang.
Peraturan Perundang – undangan tentang hak asasi
manusia yang tercantum pada UUD HAM NO. 39 Tahun 1999, ada 3 landasan HAM yang
lain, yaitu landasan moral, sosio-kultural, dan religius.
E.Landasan Moral
Kita semua tahu, bahwa setiap masyarakat memiliki ajaran moral (tentang perilaku yang baik) yang dibentuk dan dikembangkan oleh masyarakat itu sendiri. Moralitas itu tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ajaran moral suatu masyarakat berbeda dengan masyarakat lainnya. Kebiasaan dalam masyarakat berhubungan dengan norma kesusilaan, kesopanan, dan kepatutan atau kepantasan perbuatan seseorang adalah nilai moral. Sehingga kriteria perbuatan itu dikatakan baik apabila dilakukan sesuai dengan norma-norma tersebut. Norma-norma yang dikembangkan di dalam masyarakat didasarkan pada adat istiadat, kepercayaan dan agama.
Dalam beberapa hal, HAM dilandasi dengan sistem moral yang berlaku dalam masyarakat masih cukup efektif. Misalnya, pelanggaran HAM yang dilakukan seseorang atau kelompok akan mempunyai sanksi moral. Sanksi moral diberikan oleh agama dengan perasaan berdosa, sedangkan sanksi yang diberikan oleh masyarakat dengan dikucilkan oleh masyarakat.
F. Ladasan Sosio-Kultural
Landasan HAM yang lain adalah kehidupan sosial dan kultural/budaya masyarakat. Landasan ini dibangun dan dikembangkan secara turun temurun melalui sistem pranata, norma, dan nilai-nilai budaya dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Masyarakat pedesaan misalnya, masih menjunjung tinggi nilai-nilai kemasyarakatan dalam bentuk pranata sosial, kesusilaan, sopan santun, hubungan kekerabatan, serta ditandai dengan paguyuban (hubungan antara individu yang satu dengan lainnya bersifat saling kenal mengenal, akrab, toleransi, gotong royong, dan penuh kepedulian dengan lainnya). Sedangkan karakteristik interaksi sosial masyarakat kota bersifat patembayan, artinya hubungan antar individu dilihat dari kepentingan masing-masing sehingga bersifat lebih individual. Norma-norma yang dikembangkan berdasarkan hubungan saling menguntungkan secara fisik finansial. Interaksi sosial dapat digantikan melalui hubungan tidak langsung dengan teknologi, sehingga tidak saling kenal mengenal. Kegotongroyongan sudah digantikan dengan kontribusi uang sehingga tatap muka antar individu sudah digantikan dengan substitusi lainnya.
Pemahaman tentang hak asasi manusia sangat dipengaruhi oleh sistem sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan HAM perlu memperhatikan:
(1) sistem sosial yang berlaku;
(2) sistem nilai dan norma dalam masyarakat dan kebudayaan;
(3) sikap sosial dan budaya individu;
(4) sistem kepercayaan yang dijunjung tinggi masyarakat dan kebudayaan;
(5) pranata-pranata sosial;
(6) adat istiadat suatu masyarakat.
Jadi, HAM semata-mata tidak hanya didasarkan atas hukum dan undang-undang saja, tetapi memperhatikan dinamika masyarakat.
G. Landasan Religius
Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat itu tumbuh dan berkembang sesiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Van Peursen (1981) masyarakat tumbuh melalui tiga tahap: mitis, ontologis, dan fungsional. Pada tahap mitis ini, dikembangkan penyelesaian masalah dengan menggunakan sistem kepercayaan, magis, dan mitos. Namun penyelesaian berdasarkan mitologi ini tidak memuaskan manusia. Selanjutnya, manusia mencari penyelesaian masalah melalui rasio. Pemikiran rasional itu bersifat reflektif filosofis sehingga melahirkan pemikiran ontologis. Pada tahap ontologis ini lahir pengetahuan filasafat. Perkembangan masyarakat dan kehidupan yang sangat pesat membuat pemikiran filsafat itu kurang memuaskan manusia. Manusia kemudian mengembangkan pemikiran rasional melalui tahapan tertentu.
Tahapan tersebut adalah:
1. pemikiran rasional itu bersifat objektif empiris, artinya objek itu dipikirkan sejauh dapat dialami oleh manusia.
2. menggunakan metode ilmiah tertentu,
3. memiliki sistem ilmiah,
4. kebenarannya bersifat hipotetik, artinya kebenaran itu diukur dari bukti-bukti empirirs yang mendukungnya.
Ketika daya jangkau pemikiran manusia tidak mampu lagi mencapai titik pemecahan segala masalah secara memuaskan, maka kerinduan pada aspek-aspek kerohanian untuk dijadikan landasan dalam mengembangkan HAM. Sebagai anugerah Tuhan, hak dasar manusia yang dibawa sejak lahir itu dijalankan sesuai dengan nilai-nilai religius. Artinya HAM itu semakin meningkatkan keimanan dan mendekatkan diri pada Tuhan. Harkat dan martabat manusia terletak pada kedekatannya dengan Tuhan. Implementasi HAM yang bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan akan semakin membuat manusia kehilangan jati diri sebagai manusia. Kebebasan dan HAM yang mengingkari adanya nilai-nilai religius itu mengakibatkan manusia kebingungan dalam kehidupan. Sebab kehidupan manusia terbatas, sehingga di seberang batas tersebut hanya dapat dipahami melalui keimanan dan kepercayaan.
Bangsa Indonesia secara filosofis, sosiologis, maupun religius mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa. Pada masa pra sejarah, kepercayaan tersebut masih berupa animisme dan dinamisme. Kepercayaan adanya Tuhan baru memiliki konsep yang jelas ketika datang agama-agama besar di Indonesia. Konsep Tuhan tersebut dipahami sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Masyarakat percaya (iman) dan sekaligus menaati aturan-aturan yang dibawa di dalam ajaran agama tersebut. Namun tidak serta merta kepercayaan dan perilaku terhadap nilai-nilai adikodrati yang lama tetapi masih sesuai dengan agama, ditinggalkan sama sekali. Bahkan, kepercayaan lama tersebut terintegrasi di dalam ajaran agama yang dianutnya. Kesemuanya membentuk adat istiadat dan budaya religius dalam masyarakat.
Pemahaman tentang HAM juga sangat dipengaruhi oleh sistem nilai religius. HAM yang bertentangan dan tidak sesuai dengan ajaran agama yang dianut akan dipandang merendahkan derajat dan martbat manusia di hadapan Tuhan semesta alam dan sesama manusia.
Kita semua tahu, bahwa setiap masyarakat memiliki ajaran moral (tentang perilaku yang baik) yang dibentuk dan dikembangkan oleh masyarakat itu sendiri. Moralitas itu tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ajaran moral suatu masyarakat berbeda dengan masyarakat lainnya. Kebiasaan dalam masyarakat berhubungan dengan norma kesusilaan, kesopanan, dan kepatutan atau kepantasan perbuatan seseorang adalah nilai moral. Sehingga kriteria perbuatan itu dikatakan baik apabila dilakukan sesuai dengan norma-norma tersebut. Norma-norma yang dikembangkan di dalam masyarakat didasarkan pada adat istiadat, kepercayaan dan agama.
Dalam beberapa hal, HAM dilandasi dengan sistem moral yang berlaku dalam masyarakat masih cukup efektif. Misalnya, pelanggaran HAM yang dilakukan seseorang atau kelompok akan mempunyai sanksi moral. Sanksi moral diberikan oleh agama dengan perasaan berdosa, sedangkan sanksi yang diberikan oleh masyarakat dengan dikucilkan oleh masyarakat.
F. Ladasan Sosio-Kultural
Landasan HAM yang lain adalah kehidupan sosial dan kultural/budaya masyarakat. Landasan ini dibangun dan dikembangkan secara turun temurun melalui sistem pranata, norma, dan nilai-nilai budaya dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Masyarakat pedesaan misalnya, masih menjunjung tinggi nilai-nilai kemasyarakatan dalam bentuk pranata sosial, kesusilaan, sopan santun, hubungan kekerabatan, serta ditandai dengan paguyuban (hubungan antara individu yang satu dengan lainnya bersifat saling kenal mengenal, akrab, toleransi, gotong royong, dan penuh kepedulian dengan lainnya). Sedangkan karakteristik interaksi sosial masyarakat kota bersifat patembayan, artinya hubungan antar individu dilihat dari kepentingan masing-masing sehingga bersifat lebih individual. Norma-norma yang dikembangkan berdasarkan hubungan saling menguntungkan secara fisik finansial. Interaksi sosial dapat digantikan melalui hubungan tidak langsung dengan teknologi, sehingga tidak saling kenal mengenal. Kegotongroyongan sudah digantikan dengan kontribusi uang sehingga tatap muka antar individu sudah digantikan dengan substitusi lainnya.
Pemahaman tentang hak asasi manusia sangat dipengaruhi oleh sistem sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan HAM perlu memperhatikan:
(1) sistem sosial yang berlaku;
(2) sistem nilai dan norma dalam masyarakat dan kebudayaan;
(3) sikap sosial dan budaya individu;
(4) sistem kepercayaan yang dijunjung tinggi masyarakat dan kebudayaan;
(5) pranata-pranata sosial;
(6) adat istiadat suatu masyarakat.
Jadi, HAM semata-mata tidak hanya didasarkan atas hukum dan undang-undang saja, tetapi memperhatikan dinamika masyarakat.
G. Landasan Religius
Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat itu tumbuh dan berkembang sesiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Van Peursen (1981) masyarakat tumbuh melalui tiga tahap: mitis, ontologis, dan fungsional. Pada tahap mitis ini, dikembangkan penyelesaian masalah dengan menggunakan sistem kepercayaan, magis, dan mitos. Namun penyelesaian berdasarkan mitologi ini tidak memuaskan manusia. Selanjutnya, manusia mencari penyelesaian masalah melalui rasio. Pemikiran rasional itu bersifat reflektif filosofis sehingga melahirkan pemikiran ontologis. Pada tahap ontologis ini lahir pengetahuan filasafat. Perkembangan masyarakat dan kehidupan yang sangat pesat membuat pemikiran filsafat itu kurang memuaskan manusia. Manusia kemudian mengembangkan pemikiran rasional melalui tahapan tertentu.
Tahapan tersebut adalah:
1. pemikiran rasional itu bersifat objektif empiris, artinya objek itu dipikirkan sejauh dapat dialami oleh manusia.
2. menggunakan metode ilmiah tertentu,
3. memiliki sistem ilmiah,
4. kebenarannya bersifat hipotetik, artinya kebenaran itu diukur dari bukti-bukti empirirs yang mendukungnya.
Ketika daya jangkau pemikiran manusia tidak mampu lagi mencapai titik pemecahan segala masalah secara memuaskan, maka kerinduan pada aspek-aspek kerohanian untuk dijadikan landasan dalam mengembangkan HAM. Sebagai anugerah Tuhan, hak dasar manusia yang dibawa sejak lahir itu dijalankan sesuai dengan nilai-nilai religius. Artinya HAM itu semakin meningkatkan keimanan dan mendekatkan diri pada Tuhan. Harkat dan martabat manusia terletak pada kedekatannya dengan Tuhan. Implementasi HAM yang bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan akan semakin membuat manusia kehilangan jati diri sebagai manusia. Kebebasan dan HAM yang mengingkari adanya nilai-nilai religius itu mengakibatkan manusia kebingungan dalam kehidupan. Sebab kehidupan manusia terbatas, sehingga di seberang batas tersebut hanya dapat dipahami melalui keimanan dan kepercayaan.
Bangsa Indonesia secara filosofis, sosiologis, maupun religius mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa. Pada masa pra sejarah, kepercayaan tersebut masih berupa animisme dan dinamisme. Kepercayaan adanya Tuhan baru memiliki konsep yang jelas ketika datang agama-agama besar di Indonesia. Konsep Tuhan tersebut dipahami sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Masyarakat percaya (iman) dan sekaligus menaati aturan-aturan yang dibawa di dalam ajaran agama tersebut. Namun tidak serta merta kepercayaan dan perilaku terhadap nilai-nilai adikodrati yang lama tetapi masih sesuai dengan agama, ditinggalkan sama sekali. Bahkan, kepercayaan lama tersebut terintegrasi di dalam ajaran agama yang dianutnya. Kesemuanya membentuk adat istiadat dan budaya religius dalam masyarakat.
Pemahaman tentang HAM juga sangat dipengaruhi oleh sistem nilai religius. HAM yang bertentangan dan tidak sesuai dengan ajaran agama yang dianut akan dipandang merendahkan derajat dan martbat manusia di hadapan Tuhan semesta alam dan sesama manusia.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setiap bangsa di dunia tentu memiliki sistem nilai yang melandasi
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi bangsa Indonesia system
nilai tersebut terdapat di dalam Pancasila. Pengembangan HAM di Indonesia harus
disesuaikan dengan sistem filsafat negara yang diyakini kebenarannya. Sistem
ilsafat tersebut sebagai pilihan terbaik karena bersifat fundamental,
komprehensif, utuh dan lengkap.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini masih terdapat
beberapa kekurangan dan kesalahan, baik dari segi penulisan maupun dari segi
penyusunan kalimatnya. Dari segi
isi juga masih perlu ditambahkan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kepada para pembaca makalah ini agar dapat memberikan kritikan dan
masukan yang bersifat membangun.
DAFTAR PUSTAKA
Samawi Ahmad, (2008): Pendidikan Hak Asasi Manusia, Ditjen Dikti,
Depdikbud, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar