Minggu, 04 Juni 2017

Makalah Sistem nilai HAM

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
HAM adalah hak asasi manusia yang memiliki landasan tertentu. Segala sesuatu yang menyangkut keseluruhan hidup manusia didasari oleh system nilai yang dianut. Di dalam HAM terdapat sistem nilai yang dianut oleh suatu bangsa dan masayarakat. Nilai yang dimaksud bersifat fundamental dan dijunjung tinggi serta dijadikan pedoman oleh masyarakat dalam mengatur hak-haknya sebagai manusia. Dari sistem nilai itu kemudian melahirkan pemikiran yang dijadikan landasan  filosofis, ideologis, yuridis konstitusional, moral, sosio-kultural dan religius. Pada akhirnya, orang sering mengaitkan HAM dengan kebebasan dan demokrasi. Namun demikian, kaitannya tidak dapat dilepaskan dari landasan-landasan tersebut secara komperhensif.
B. Tujuan
Selain memenuhi tugas mata kuliah, penulisan makalah ini bertujuan agar :
  1. Kita dapat menjelaskan sistem nilai di dalam HAM
  2. Kita dapat memahami landasan-landasan filosofis-ideologis, yuridis, moral, sosio-kultural serta landasan religious HAM.







BAB II
PEMBAHASAN
Hak asasi manusia merupakan hak fundamental yang dimiliki setiap manusia sebagai anugerah Tuhan oleh sebab itu bersifat universal. Sekalipun HAM itu bersifat universal, tetapi pemahaman setiap orang tentang HAM tersebut berbeda-beda. Cara pandang tersebut dipengaruhi oleh sistem filsafat, ideologi, dan yuridis konstitusional.
A. Sistem Nilai yang Melandasi HAM
Sistem adalah keseluruhan dari unsur atau bagian yang berhubungan secara fungsional dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Sistem nilai yang melandasi HAM ditentukan oleh pandangan hidup bangsa. Bagi bangsa Indonesia, panduan atau filsafat hidup bangsa yang telah disepakati adalah pancasila. Sistem nilai yang melandasi HAM berdasarkan pandangan hidup bangsa adalah sistem nilai universal dan lokal.
Sistem nilai universal yang melandasi HAM adalah sebagai berikut :
a)      Nilai religius dan kebutuhan
b)      Nilai kemanusiaan
c)      Nilai persatuan
d)     Nilai kerakyatan, dan
e)      Nilai keadilan.
Setiap bangsa di dunia memiliki kepercayaan terhadap adanya Tuhan. Bukti-bukti adanya Tuhan yang dikumpulkan rasi o manusia sebagai berikut :
  1. Bukti teologis yaitu sebagian besar manusia di muka bumi ini percaya adanya suatu kekuatan adikodrati yang menguasai kehidupan manusia.
  2. Bukti teleologis, yaitu bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta itu ada arah dan tujuan.
  3. Bukti ontologis, yaitu bukti tentang segala sesuatu yang ada di alam semesta itu pasti ada yang mengadakan.
  4. Bukti kosmologis yaitu bukti tentang keteraturan alam semesta.
  5. Bukti kausalitas yaitu bukti adanya hukum sebab akibat di alam semesta akan mengantarkan rasio pada penyebab pertama yang tidak disebabkan.
  6. Bukti psikologis yaitu sebagian besar manusia memiliki ketakutan untuk mati.
  7. Bukti moral yaitu manusia merasa diperlakukan secara tidak adil.
Semua anggota masyarakat harus diperlakukan secara adil. Keadilan menjadi sendi di dalam kehidupan masyarakat. Menurut Aristoteles, keadilan itu dibedakan menjadi keadilan komutatif (antar individu), distributif (negara kepada individu), dan legal (keadilan yang diberikan oleh hukum yang berlaku).
Disamping nilai universal, ada sistem nilai lokal yang melandasi HAM.
Sistem nilai lokal tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
  3. Persatuan Indonesia.
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan.
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
B. Landasan Filosofis
Setiap orang atau masyarakat tentu memiliki masalah. Ada masalah yang bersifat sederhana dan praktis sehari-hari, ada pula masalah yang bersifat fundamental filsafati. Seiring dengan perkembangan zaman, penyelesaian masalah secara mitologis itu dipandang tidak memuaskan manusia. Kemudian, manusia mencari penyelesaian dengan kemampuan sendiri yaitu berpikir. Kemampuan berpikir menjadi ciri khas manusia. Tidak semua kemampuan berpikir bersifat kefilsafatan.
Suatu pemikiran dikatakan bersifat kefilsafatan manakala memiliki ciri-ciri tertentu. Pertama, berpikir kefilsafatan bersifat objektif, artinya memiliki objek tertentu, baik objek materi maupun objek formal. Kedua, berpikir kefilsafatan bersifat radikal. Radix artinya akar. Berpikir radikal berarti berpikir sampai ke akar-akarnya sampai ditemukan hakikatnya. Ketiga, berpikir kefilsafatan mempunyai ciri berpikir bebas. Artinya, berpikir kefilsafatan itu bebas dari prasangka. Keempat, berpikir kefilsafatan bersifat komprehensif. Dalam memikirkan objeknya, filsafat selalu melihat dari semua segi, dan tidak bersifat parsial.
Secara etimologis, filsafat berasal dari kata Yunani, philo artinya cinta, to love sahabat, dan sophia artinya kebijaksanaan, wisdom (pengetahuan dan kebenaran). Filsafat adalah usaha manusia secara sungguh-sungguh untuk mencintai kebijaksanaan yang diperoleh melalui pengetahuan dan kebenaran.
Bagi bangsa Indonesia, pilihan terbaik pada sistem filsafat hidup sebagaimana terdapat di dalam pembukaan UUD 1945 itu merupakan pokok kaidah Negara yang fundamental, yang memberikan asas moral dan budaya politik, sebagai asas normatif pengembangan dan pengamalan IPTEK (Noorsyam, 1999) termasuk HAM. Asas normatif filosofis ini menjiwai dan melandasi UUD negara, sekaligus sebagai norma dasar dan tertinggi di dalam Negara. Pancasila sebagai norma dasar Negara atau pokok kaidah negara yang fundamental oleh MPR tidak diamandemen (diubah). HAM dikembangkan berdasarkan sistem filsafat hidup dan norma dasar Pancasila. Pemahaman atas HAM harus sesuai atau tidak boleh bertentangan dengan norma dasar tersebut.
C. Landasan Ideologis
Istilah ideologi diunakan pertama kali oleh Destutt de Tracy di dalam buku Elements d’ideologie. Ia menjelaskan ideologi sebagai ilmu tentang ide. Ideologi sebagai sistem ide menunjuk pada paham konservatisme, environmentalisme, sosialisme, dan kadang-kadang digunakan untuk menyebut kepentingan kelas-kelas dalam masyarakat, sebagaimana digunakan Karl Marx untuk menyebut kesadaran untuk memperjuangkan kepentingan (Thomas Mautner, 1997).
Ideologi adalah ajaran tentang cita-cita berdasarkan sistem nilai yang diyakini kebenarannya. Sistem nilai tersebut dikembangkan oleh filsafat. Melalui pemikiran filsafat, sistem nilai tersebut merupakan hasil perenungan secara mendalam tentang hakikat terdasar dari segala sesuatu. Untuk melaksanakan hasil pemikiran filsafat tersebut dibutuhkan ideologi. Ideologi merupakan petunjuk untuk melaksanakan filsafat. Secara harfiah, ideologi berarti system of ideas yang mensistematiskan seluruh pemikiran tentang kehidupan dan melengkapinya dengan sarana serta strategi dan kebijakan untuk menyesuaikan realitas kehidupan dengan nilai-nilai filsafat (Oetojo Usman dan Alfian, 1992).
Ideologi dikembangkan dari sistem filsafat. Ideologi kapitalisme dikembangkan dari sistem filsafat liberalisme-individualisme. Ideologi komunisme dikembangkan dari sistem filsafat materialisme. Menurut ideologi liberalisme-individualisme, manusia itu bagaikan atom yang berdiri lepas dan bebas dari pengaruh ataom lainnya. Individu tersebut berinteraksi dan membuat perjanjian (contract social) untuk membentuk masyarakat.
Berbeda halnya dengan liberalisme-individualisme, ideologi komunisme didasarkan pada filsafat materialisme. Pada hakikatnya segala sesuatu yang ada itu dapat dikembalikan pada prinsip materialistik. Manusia semata-mata sebagai makhluk materi tidak memiliki kebebasan. Ideologi komunisme ini banyak dianut oleh Rusia, Eropa Timur, dan Negara di bawah penharuh Tiongkok (RRC).
Bangsa Indonesia tidak memihak pada salah satu atau kedua ideologi kapitalisme dan komunisme. Bangsa Indonesia memiliki ideologi yang disepakati bersama. Ideologi tersebut dapat dilihat pada pembukaan UUD 1945. Terbentuknya ideologi tersebut dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal perkembangan bangsa Indonesia berupa alam lingkungan hidup yang menjadi wahana kehidupan bangsa Indonesia. Facktor eksternal berupa pergaulan antar bangsa yang membawa pengaruh perubahan pemikiran, sikap dan perilaku.
D. Landasan Yuridis Konstitusional
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) didirikan oleh para pendiri negara, the faonding fathers sudah dilengkapi dengan hukum dasar. Hukum dasar yang dimaksud adalah norma dasar yang dijadikan landasan untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum dasar itu ada yang tertulis dan ada pula yang tidak tertulis.
Norma dasar yang dijadikan hukum dasar penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara oleh pendiri negara secara eksplisit dijelaskan di dalam Pembukaan UUD 1945. Begitu fundamental norma dasar tersebut sehingga UUD 1945 mempunyai kedudukan yang sangat tinggi sebagai sumber hukum. Ketentuan HAM sudah diletakkan secara normatif di dalam Pembukaan UUD 1945, dan secara rinci dijabarkan di dalam pasal 28 A sampai dengan J.
Pembukaan UUD 1945 terdiri atas empat alinea. Alinea pertama, memuat pernyataan bangsa Indonesia tentang kemerdekaan sebagai hak asasi bangsa-bangsa di dunia. Alinea kedua, memuat perjuangan pergerakkan kemerdekaan bangsa Indonesia dalam memperoleh kemerdekaan (hak asasi setiap bangsa). Alinea ketiga, memuat pernyataan bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia itu diperoleh melalui :
a)      Usaha perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia
b)      Perjuangan tersebut diridloi Tuhan Yang Maha Esa
c)      Kemerdekaan yang di capai dengan keinginan luhur sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan maju.
Alinea keempat, memuat pernyatan bahwa negara Indonesia merdeka yang didirikan mempunyai tujuan :
a)      Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah bangsai ndonesia
b)      Memajukan kesejahteraan umum
c)      Mencerdaskan kehidupan bangsa
d)     Ikut serta dalam menjaga perdamaian dunia yang abadi berdasarkan keadilan.
sebagaimana terdapat di dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan ajaran cita-cita tentang  kehidupan bangsa di masa depan. HAM dikembangkan sebagai salah satu bagian dari cita-cita dan tujuan  nasional tersebut. Secara yuridis konstitusional HAM memiliki landasan yang kuat karena secara eksplisit dicantumkan di dalam pasal-pasal UUD 1945, terutama pasal 27, 28, 28A-J, 29, 30, 31, 32, 33, dan 34. Untuk melaksanakan berbagai ketentuan pasal-pasal tersebut dibuat berbagai undang-undang.

Peraturan Perundang – undangan tentang hak asasi manusia yang tercantum pada UUD HAM NO. 39 Tahun 1999, ada 3 landasan HAM yang lain, yaitu landasan moral, sosio-kultural, dan religius.
E.Landasan Moral
Kita semua tahu, bahwa setiap masyarakat memiliki ajaran moral (tentang perilaku yang baik) yang dibentuk dan dikembangkan oleh masyarakat itu sendiri. Moralitas itu tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ajaran moral suatu masyarakat berbeda dengan masyarakat lainnya. Kebiasaan dalam masyarakat berhubungan dengan norma kesusilaan, kesopanan, dan kepatutan atau kepantasan perbuatan seseorang adalah nilai moral. Sehingga kriteria perbuatan itu dikatakan baik apabila dilakukan sesuai dengan norma-norma tersebut. Norma-norma yang dikembangkan di dalam masyarakat didasarkan pada adat istiadat, kepercayaan dan agama.
Dalam beberapa hal, HAM dilandasi dengan sistem moral yang berlaku dalam masyarakat masih cukup efektif. Misalnya, pelanggaran HAM yang dilakukan seseorang atau kelompok akan mempunyai sanksi moral. Sanksi moral diberikan oleh agama dengan perasaan berdosa, sedangkan sanksi yang diberikan oleh masyarakat dengan dikucilkan oleh masyarakat.

F. Ladasan Sosio-Kultural
Landasan HAM yang lain adalah kehidupan sosial dan kultural/budaya masyarakat. Landasan ini dibangun dan dikembangkan secara turun temurun melalui sistem pranata, norma, dan nilai-nilai budaya dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Masyarakat pedesaan misalnya, masih menjunjung tinggi nilai-nilai kemasyarakatan dalam bentuk pranata sosial, kesusilaan, sopan santun, hubungan kekerabatan, serta ditandai dengan paguyuban (hubungan antara individu yang satu dengan lainnya bersifat saling kenal mengenal, akrab, toleransi, gotong royong, dan penuh kepedulian dengan lainnya). Sedangkan karakteristik interaksi sosial masyarakat kota bersifat patembayan, artinya hubungan antar individu dilihat dari kepentingan masing-masing sehingga bersifat lebih individual. Norma-norma yang dikembangkan berdasarkan hubungan saling menguntungkan secara fisik finansial. Interaksi sosial dapat digantikan melalui hubungan tidak langsung dengan teknologi, sehingga tidak saling kenal mengenal. Kegotongroyongan sudah digantikan dengan kontribusi uang sehingga tatap muka antar individu sudah digantikan dengan substitusi lainnya.
Pemahaman tentang hak asasi manusia sangat dipengaruhi oleh sistem sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan HAM perlu memperhatikan:
(1) sistem sosial yang berlaku;
(2) sistem nilai dan norma dalam masyarakat dan kebudayaan;
(3) sikap sosial dan budaya individu;
(4) sistem kepercayaan yang dijunjung tinggi masyarakat dan kebudayaan;
(5) pranata-pranata sosial;
(6) adat istiadat suatu masyarakat.
Jadi, HAM semata-mata tidak hanya didasarkan atas hukum dan undang-undang saja, tetapi memperhatikan dinamika masyarakat.

G.  Landasan Religius
Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat itu tumbuh dan berkembang sesiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Van Peursen (1981) masyarakat tumbuh melalui tiga tahap: mitis, ontologis, dan fungsional. Pada tahap mitis ini, dikembangkan penyelesaian masalah dengan menggunakan sistem kepercayaan, magis, dan mitos. Namun penyelesaian berdasarkan mitologi ini tidak memuaskan manusia. Selanjutnya, manusia mencari penyelesaian masalah melalui rasio. Pemikiran rasional itu bersifat reflektif filosofis sehingga melahirkan pemikiran ontologis. Pada tahap ontologis ini lahir pengetahuan filasafat. Perkembangan masyarakat dan kehidupan yang sangat pesat membuat pemikiran filsafat itu kurang memuaskan manusia. Manusia kemudian mengembangkan pemikiran rasional melalui tahapan tertentu.
Tahapan tersebut adalah:
1. pemikiran rasional itu bersifat objektif empiris, artinya objek itu dipikirkan sejauh dapat dialami oleh manusia.
2. menggunakan metode ilmiah tertentu,
3. memiliki sistem ilmiah,
4. kebenarannya bersifat hipotetik, artinya kebenaran itu diukur dari bukti-bukti empirirs yang mendukungnya.

Ketika daya jangkau pemikiran manusia tidak mampu lagi mencapai titik pemecahan segala masalah secara memuaskan, maka kerinduan pada aspek-aspek kerohanian untuk dijadikan landasan dalam mengembangkan HAM. Sebagai anugerah Tuhan, hak dasar manusia yang dibawa sejak lahir itu dijalankan sesuai dengan nilai-nilai religius. Artinya HAM itu semakin meningkatkan keimanan dan mendekatkan diri pada Tuhan. Harkat dan martabat manusia terletak pada kedekatannya dengan Tuhan. Implementasi HAM yang bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan akan semakin membuat manusia kehilangan jati diri sebagai manusia. Kebebasan dan HAM yang mengingkari adanya nilai-nilai religius itu mengakibatkan manusia kebingungan dalam kehidupan. Sebab kehidupan manusia terbatas, sehingga di seberang batas tersebut hanya dapat dipahami melalui keimanan dan kepercayaan.
Bangsa Indonesia secara filosofis, sosiologis, maupun religius mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa. Pada masa pra sejarah, kepercayaan tersebut masih berupa animisme dan dinamisme. Kepercayaan adanya Tuhan baru memiliki konsep yang jelas ketika datang agama-agama besar di Indonesia. Konsep Tuhan tersebut dipahami sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Masyarakat percaya (iman) dan sekaligus menaati aturan-aturan yang dibawa di dalam ajaran agama tersebut. Namun tidak serta merta kepercayaan dan perilaku terhadap nilai-nilai adikodrati yang lama tetapi masih sesuai dengan agama, ditinggalkan sama sekali. Bahkan, kepercayaan lama tersebut terintegrasi di dalam ajaran agama yang dianutnya. Kesemuanya membentuk adat istiadat dan budaya religius dalam masyarakat.
Pemahaman tentang HAM juga sangat dipengaruhi oleh sistem nilai religius. HAM yang bertentangan dan tidak sesuai dengan ajaran agama yang dianut akan dipandang merendahkan derajat dan martbat manusia di hadapan Tuhan semesta alam dan sesama manusia.









BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setiap bangsa di dunia tentu memiliki sistem nilai yang melandasi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi bangsa Indonesia system nilai tersebut terdapat di dalam Pancasila. Pengembangan HAM di Indonesia harus disesuaikan dengan sistem filsafat negara yang diyakini kebenarannya. Sistem ilsafat tersebut sebagai pilihan terbaik  karena bersifat fundamental, komprehensif, utuh dan lengkap.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini masih terdapat beberapa kekurangan dan kesalahan, baik dari segi penulisan maupun dari segi penyusunan kalimatnya. Dari segi isi juga masih perlu ditambahkan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kepada para pembaca makalah ini agar dapat memberikan kritikan dan masukan yang bersifat membangun.











DAFTAR PUSTAKA
Samawi Ahmad, (2008): Pendidikan Hak Asasi Manusia, Ditjen Dikti, Depdikbud, Jakarta




Tidak ada komentar:

Posting Komentar